Penulis oleh : Tunjung Eko Wibowo
Mencuatnya pemberitaan di akhir-akhir ini perihal bencana di Sumatra, khususnya Aceh, Sumatra Utara daan Sumatra Selatan. Menimbulkan pertanyaan dan konflik bathin setiap isi kepala manusia. Jika dilihat lebih dalam bahwa konsesi tata Kelola tambang melibatkan organisasi keagamaan, salah satunya Muhaammadiyah.
Kita harus sadar bahwa tidak semua peluang ekonomi yang menghasilkan tidak berhubungan dengan kepentingan politik. Konsesi tambang yang diberikan pemerintah kepada Muhammadiyah ini seolah karpett merah yang mulus. Namun yang diberikan akan membawa jebakan oligarki dan timbul konflik yang berkepanjangan.
Mungkin Tuhan telah menjawab keresahan-keresahan itu dengan dimunculkannya bencana banjir saat ini. Salah satu sebabnya Adalah tidak teraturnya regulasi dan tata Kelola, lingkungan, pertambangan dan ekosistem bumi. Yang mengakibatkan penyangga air saat debit hujan cukup tinggi hingga tanah longsor bumi tak mampu menampungnya. Lebih baik Muhammadiyah menyadarinya dari sekarang, sebelum berlumuran tragedi kesengsaraan.
Kembali Menjaga Amanah Lingkungan
Pada saat disetujuinya konsesi tambang untuk Muhammadiyah telah memicu gelombang pro dan kontra. Melihat rekam jejak bencana lingkungan dan konflik sosial di berbagai wilayah, khususnya di Sumatera saat ini. Langkah yang telah di ambil selayaknya dikritisi, dikaji kembali dan lebih baik dikembalikan kepada pemerintah.
Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yang besar, sejatinya memiliki peran strategis sebagai penyeimbang dan pengawas moral terhadap kebijakan pemerintah. Keterlibatan langsung dalam industri ekstraktif selain rentan merusak lingkungan juga memicu konflik sosial. Hal ini juga sebagai tindakan salah langkah yang dapat mencederai prinsip-prinsip luhur Persyarikatan dan menyakiti hati umat.
Keputusan menerima konsesi tambang, meskipun diklaim demi kemaslahatan umat. Dan dianggap sebagai kemandirian organisasi, menghadapi tantangan berat yang membuatnya lebih baik untuk dikembalikan. Ada hal yang perlu ditelaah kembali, mengapa konsesi tambang harus dikembalikan pada pemerintah.
Muhammadiyah menerima konsesi tambang berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 25 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP No. 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Beleid ini menambahkan Pasal 83A Ayat (1) yang menyebutkan:
“Dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, WIUPK dapat dilakukan penawaran secara prioritas kepada Badan Usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan.”
Ketetapan ini berlaku dalam jangka waktu 5 tahun dan WIUPK yang ditawarkan merupakan wilayah eks Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).
Sumber Berita Katadata.co.id, Juli 2024.
Kontradiksi dengan Prinsip dan Fatwa Keagamaan
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan Fatwa No. 22 Tahun 2011 tentang Pertambangan Ramah Lingkungan. Fatwa ini secara tegas menyatakan bahwa kegiatan pertambangan yang tidak memenuhi persyaratan. Dan tidak bisa menghindari kerusakan (mafsadat) hukumnya adalah haram. Karena pertambangan wajib menghindari kerusakan ekosistem darat dan laut. Mendorong proses pemiskinan masyarakat sekitar, mengancam kesehatan masyarakat. Kegiatan pertambangan yang tidak sesuai syarat dan tidak mendatangkan kesejahteraan, hukumnya haram.
Dari pengalaman yang terjadi di Sumatera, menunjukkan bahwa industri tambang seringkali gagal memenuhi standar ramah lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Muhammadiyah, yang menjunjung tinggi ajaran Islam dan etika sosial, akan sangat sulit menghindari pelanggaran ini, bahkan dengan niat terbaik.
Muhammadiyah harus kembali pada khittahnya bahwa, prinsip Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah amar makruf nahi mungkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran) akan terbentur. Bagaimana mungkin Muhammadiyah bisa bersikap kritis terhadap kerusakan lingkungan akibat tambang, sementara di saat yang sama ia juga menjadi pelakunya? Tugas kenegaraan Muhammadiyah adalah menjadi kekuatan penyeimbang moral, bukan mitra bisnis dalam sektor yang bermasalah.
Bencana di Sumatra akhir-akhir ini dengan jelas berdampak pada lingkungan dan sosial yang ada. Bencana ekologis yang terjadi di Sumatera, khususnya akibat pertambangan batubara dan emas adalah cermin nyata mengapa ormas keagamaan seharusnya menjauhi sektor ini. Di Sumatera, maraknya pertambangan (bersama dengan illegal logging dan konversi hutan) telah meningkatkan risiko banjir bandang dan tanah longsor.
Daerah seperti Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat sering menjadi korban. Kerusakan hutan primer, lubang bekas tambang yang tidak direklamasi dan polusi air telah menjadi kenyataan pahit. Pertambangan sering memicu konflik lahan antara masyarakat adat atau lokal dengan perusahaan. Hilangnya sumber penghidupan masyarakat sekitar hutan. Keterlibatan ormas dikhawatirkan akan mengubah konflik struktural ini menjadi konflik horizontal antar umat atau meredam suara kritis masyarakat.
Kerusakan ekosistem yang mengakibatkan hilangnya habitat satwa langka seperti harimau dan gajah Sumatera. Penurunan kualitas tanah dan air sebagai dampak ekologis yang sulit dihindari dan membutuhkan biaya reklamasi yang sangat tinggi, hingga perusahaan besar sering abai melaksanakannya.
Menerima Konsesi Tambang Sebagai “Blunder” Muhammadiyah
Keputusan menerima konsesi tambang dinilai sebagai blunder oleh beberapa pengamat. Banyak pihak dari umat meragukan kemampuan Muhammadiyah untuk mengelola tambang tanpa merusak lingkungan dan tanpa konflik sosial. Bahkan dianggap sanfgat mustahil hal itu dilakukan. Umat merasa tersakiti karena berharap Muhammadiyah konsisten dengan kaidahnya sebagai lembaga keagamaan dan penyeimbang.
Muhammadiyah bukan lembaga pencari keuntungan dari sektor yang bukan dibidangnya. Dan potensi merusak lingkungan akan lebih besar. Umat lebih membutuhkan Muhammadiyah untuk mengkritisi praktik tambang oligarki, bukan mengambil alih sebidang tambang.
Pro dan Kontra Konsesi Tambang
Diawal keputusan menerima konsesi tambang telah membelah suara di internal Muhammadiyah sendiri. Ada yang pro dan ada yang kontra dengan argumen masing-masing. Harapan kedepan pada saat mengelola tambang menjadi sebuah kesempatan dan momentum untuk redistribusi aset. Karena dianggap akses tambang yang selama ini didominasi oleh para oligarki. Mereka melihatnya sebagai peluang untuk menciptakan tata kelola yang lebih baik. Dengan sebuah keyakinan, Muhammadiyah mampu mengelola tambang dengan prinsip ramah lingkungan dan menguntungkan umat, berbeda dari perusahaan biasa. Mereka menyatakan akan mengembalikan konsesi ke pemerintah jika tidak bisa pro-lingkungan.
Pengelolaan tambang sebagai bentuk kemandirian organisasi dan pendapatan dari tambang dapat memperkuat amal usaha (pendidikan, kesehatan, sosial) selama ini. Muhammadiyah menilai bahwa kedepannya dapat mengurangi ketergantungan pada donasi. Muhadjir Effendy yang ditunjuk sebagai Ketua Tim Tambang Muhammadiyah dan Azrul Tanjung (Ketua Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah) membenarkan keputusan dalam menerima konsesi tambang dari pemerintah.
Namun suara-suara penolakan juga datang dari berbagai kader dan tokoh senior yang lebih mengutamakan prinsip moral dan lingkungan. Kader Muda dan Mahasiswa (IMM) DPD IMM DIY, yang sejak awal mendesak PP Muhammadiyah untuk menolak tawaran konsesi, konsisten dengan visi kepedulian sosial yang tinggi.
Tokoh senior dan para pakar merasa khawatir langkah ini justru akan mencemari citra Muhammadiyah sebagai gerakan moral. Dan dikhawatirkan hanya menjadi kedok yang akhirnya bekerja sama dengan pemilik modal lama, karena ormas keagamaan tidak memiliki kapabilitas pertambangan. Penolakan terhadap kebijakan ini datang dari berbagai lini, baik dari kalangan akademisi, Majelis Lingkungan Hidup (sebelum keputusan bulat diambil), dan kader muda. Mereka fokus pada aspek etika lingkungan, nāhī munkar dan risiko rusaknya reputasi organisasi.
Mantan Ketua Umum Muhammadiyah, Din Syamsuddin secara tegas menyatakan penolakannya terhadap tawaran konsesi. Ia berargumen bahwa peran utama Muhammadiyah adalah sebagai kekuatan moral dan penyeimbang (kekuatan madaniyah), bukan sebagai pelaku bisnis di sektor yang rentan merusak lingkungan. Keterlibatan di sektor tambang akan merusak peran kenegaraan Muhammadiyah sebagai pengkritik dan pengawas, serta dikhawatirkan akan mencoreng citra organisasi.
Meskipun Majelis Lingkungan Hidup (MLH) menyatakan akan mengembalikan konsesi jika tak mampu dikelola secara profesional dan ramah lingkungan, suara dari internal MLH seperti Sudibyo Markus cenderung sangat kritis. Ia menekankan bahwa Muhammadiyah tidak memiliki kapabilitas dan pengalaman dalam mengelola tambang yang kompleks dan berisiko tinggi. Konsesi ini justru berpotensi dimanfaatkan oleh pemilik modal lama yang bekerja sama dengan bendera Muhammadiyah.
Jalan Terbaik Muhammadiyah adalah Kembali ke Amal Usaha dan Peran Penyeimbang
Hal yang harus ditempuh Muhammadiyah adalah mengembalikan konsesi tambang kepada pemerintah. Karena Muhammadiyah masih memiliki pekerjaan rumah yang lebih penting dari[pada sekedar berebut tambang. Mengelola amal usahanya di bidang pendidikan (sekolah, universitas), kesehatan (rumah sakit) dan sosial yang sudah teruji agar terus meningkat lebih baik.
Pengembangan amal usaha justru menjadi kaidah yang sesungguhnya dan jauh lebih bermanfaat, berkelanjutan, serta sesuai dengan prinsip organisasi daripada bergelut di bisnis tambang yang berisiko tinggi. Berkaca dari itu sebaiknya pemerintah menyalurkan dukungan kepada ormas keagamaan melalui skema lain yang lebih aman dan sesuai dengan bidang keahlian mereka.
Pemerintah memberikan dukungan dana rutin untuk operasional sosial dan pendidikan, bukan justru melibatkannya ke dalam praktik yang merusak dan berkonflik dengan umatnya.
Langkah Muhammadiyah Sebagai Penyeimbang
Menyarankan pemerintah untuk mencabut PP No. 25 Tahun 2024 dan menggantinya dengan kebijakan affirmative action yang mendukung ormas keagamaan melalui sektor yang tidak merusak lingkungan. Berikan konsesus organisasi keagamaan pada bidang, pertanian berkelanjutan, energi terbarukan atau dukungan infrastruktur pendidikan/kesehatan.
Muhammadiyah harus memposisikan organisasinya dalam memperkuat pengawasan dan sanksi terhadap praktik pertambangan yang melanggar. Fatwa MUI No. 22 Tahun 2011 dan regulasi lingkungan harus benar-benar ditegakkan. Isi dari fatwa secara garis besar apabila sesuatu yang dilakukan menjadikan kerusakan lingkungan adalah haram, kenapa harus mengambil jalan yang bikin dosa.
Segera berkolaborasi dengan semua elemen untuk memulihkan krisis lingkungan. Pemerintah harus mengalokasikan dana dan upaya lebih besar untuk reklamasi bekas tambang, memulihkan hutan yang rusak, membuat peraturan investasi yang mampu mengelola kekayaan alamdengan baik. Sumatera yang kini rentan terhadap bencana, apakah harus merembet ke pulau lainnya. Indonesia tetap harus menjaga paru-paru dunia dengan keanekaragaman hutannya.
Jika Muhammadiyah tetap kukuh pada keputusannya dalam konsesi tambang, maka umat dan masyarakat luas akan selalu mengawasi. Dan Muhammadiyah harus berani untuk membuktikan janji bahwa mereka mampu melakukan hal yang dianggap mustahil. Muhammadiyah juga harus berani melakukan penambangan tanpa merusak lingkungan dan tanpa konflik sosial. Akankah Muhammadiyah bergerak senyap di pertaambangan ataukah senyap dalam amar makruf nahi munkar.
