Ironi Pahlawan Tanpa Tanda Jasa Antara Regulasi dan Martabat Profesi

27

Penulis oleh : Tunjung Eko Wibowo

Selama puluhan tahun, guru di Indonesia telah dilekatkan dengan julukan puitis dan penuh hormat, “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa.” Frasa ini menyanjung dedikasi mereka yang tak terbalas, pengorbanan yang dilakukan dalam sunyi dan peran sentral mereka dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, seiring berjalannya waktu, julukan yang mulia ini telah bermetamorfosis menjadi ironi pahit. Status “pahlawan” itu kini terasa seperti belenggu yang memungkinkan pembiaran terhadap kesejahteraan, otonomi dan bahkan martabat profesi mereka. Bahkan seringkali diperparah oleh tumpukan regulasi yang mencekik.

Regulasi yang Mengikat dan Mengerdilkan

Ironi terbesar adalah bahwa alih-alih dilindungi dan difasilitasi, profesi guru justru dibanjiri oleh kompleksitas birokrasi dan regulasi yang sering kali tidak relevan dengan tugas utama mereka. Mulai dari kewajiban administrasi yang berlebihan, tuntutan pelaporan yang detail dan berulang, hingga proses sertifikasi dan kenaikan pangkat yang rumit dan memakan waktu.

Seorang guru yang seharusnya fokus pada pengembangan metode ajar dan interaksi mendalam dengan siswa, kini menghabiskan sebagian besar waktunya di depan laptop, mengisi borang, membuat RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) yang tebal, dan mempersiapkan akreditasi yang menyita energi.

Hal ini memunculkan istilah “guru administratif” ketimbang “guru pendidik.” Mereka merasa lingkungan tuntutan profesional mereka, dalam kebebasan untuk merancang materi ajar yang kreatif. Dan kontekstual sesuai kebutuhan siswa di kelas, telah dirampas oleh pedoman standar yang kaku dari pusat.

Regulasi-regulasi yang diterapkan ini bertujuan untuk peningkatan mutu dan akuntabilitas mereka. Namaun pada praktiknya seringkali menjadi senjata yang mengerdilkan inovasi atau kreatifitas guru itu sendiri. Ketika standar kualitas diukur dari kelengkapan berkas, alih-alih kualitas interaksi di kelas. Tetapi justru semangat pengabdian pahlawan itu perlahan terkikis. Mereka terkunci dalam siklus pemenuhan syarat formalitas yang secara efektif mengebiri kreativitas dan jiwa mereka dalam mendidik.

Martabat Profesi yang Terdegradasi

Konsekuensi langsung dari penerapan sebuah regulasi dan kurangnya perhatian holistik terhadap kesejahteraan adalah degradasi martabat profesi. Regulasi yang mengikat menjadikan sebuah keharusan yang tidak boleh ditinggalkan. Sedangkan selama kurun waktu yang cukup lama, segala hal yang menyangkut payung hidup para guru masih sangat terpinggirkan. Dan seolah guru ini adalah seorang yang ikhlas akan sebuah panggilan jiwa tanpa dihargai lebih. Setiap permasalahan yang muncul hanya dibumbui harapan-harapan dan pepesan kosong.

Kesejahteraan Finansial  teruatama Guru Honorer yang masih jauh dari harapan kalau tidak boleh dikatakan terabaikan. Karena julukan “pahlawan tanpa tanda jasa” yang paling terasa dampaknya adalah guru honorer. Mereka adalah tulang punggung pendidikan di banyak daerah, namun seringkali mendapatkan upah yang jauh di bawah standar kelayakan hidup, dengan ratusan ribu rupiah per bulan.

Masyarakat dan pembuat kebijakan seolah menganggap bahwa pengabdian tulus mereka harus dibayar dengan imbalan spiritual pahala, serta terimakasih dan bukan kompensasi yang layak. Pengorbanan yang mulia ini dieksploitasi untuk menutupi minimnya anggaran pendidikan, secara terang-terangan merendahkan nilai ekonomi dan profesional dari pekerjaan mereka. Sedangkan negara sendiri untuk saat ini sangat abai dengan keberadaan mereka dan imbasnya termasuk dengan guru-guru swasta maupun yayasan.

Selain itu seorang guru juga terkikis dalam kewenangannya di ruang kelas dalam mendidik siswanya.   Martabat guru juga terdegradasi ketika wewenang dan otoritas mereka di ruang kelas dipertanyakan, bahkan direndahkan. Dalam era keterbukaan informasi, seringkali guru menjadi sasaran empuk perundungan, baik dari orang tua yang terlalu intervensi maupun dari media sosial. Ketika mencoba menegakkan disiplin atau memberikan sanksi edukatif, justru terkebiri dengan hukum dan HAM. Dengan ketidakjelasan payung hukum yang melindungi guru dari kriminalisasi saat menjalankan tugas mendidik telah menciptakan ketakutan.

Sehingga hal tersebut memicu self-censorship, yang pada akhirnya merusak esensi peran mereka sebagai pendidik sekaligus penegak nilai-nilai seorang guru. Selain itu juga menciptakan ketakutan chilling effect bagi mereka. Guru menjadi ragu, bahkan enggan, untuk bertindak tegas. Mereka memilih jalan aman dan mengabaikan pelanggaran disiplin demi menjaga diri dari risiko hukum. Sehingga dampaknya sangat fatal dan pendidikan karakter di sekolah menjadi lumpuh. Siswa kehilangan figur otoritas yang dihormati, yang pada akhirnya merugikan masa depan mereka sendiri, yang merupakan generasi masa depan bangsa..

Dari kondisi yang banyak terjadi saat ini mengakibatkan penurunan minat generasi muda terbaik untuk memasuki profesi guru. Ketika mereka melihat senior-senior mereka tenggelam dalam administrasi, berjuang dengan gaji minim dan rentan terhadap tuntutan hukum serta bullying. Generasi sekarang menganngap profesi guru tidak lagi dianggap sebagai cita-cita mulia, melainkan pilihan terakhir atau pelarian. Hal Ini akan jadi lingkaran setan martabat yang terdegradasi menyebabkan kualitas input yang menurun, yang pada gilirannya semakin menurunkan martabat profesi itu sendiri.

Profesionalisme dan Visi Guru Masa Depan

Jika masalah pengabdian terletak pada keikhlasan dan perlindungan, maka tantangan utama profesionalisme guru adalah tuntutan adaptasi yang luar biasa cepat terhadap kurikulum yang selalu berubah. Namun tekanan negara untuk menuntut profesional belum bisa diimbangi dengan kesejahteraan yang nyata. Mereka telah menjadi garda terdepan dalam mencerdaskan bangsa, tetapi masih jauh dari hal-hal yang mapan.

Dalam tuntutan profesional juga tidak diimbangi dengan sosialisasi dan pelatihan untuk mengembangkan profesi mereka. Seolah mereka hanya dibiarkan dalam bayang-bayang modul yang bertumpuk-tumpuk. Sehingga guru terpaksa belajar mandiri, di tengah tumpukan tugas administrasi yang menyita waktu.

Jika menganggap tidak ada generasi yang maju tanpa guru yang berdaya. Namun sampai saat ini negara masih berlindung atas Sejahtera dan inovasi. Dedikasi yang abadi yang kurang selaras dengan harapan guru dan seluruh stakeholder pendidikan di bawah dan utamanya daerah yang tertinggal. Pemerintah yang mempunyai regulasi masih berhitung dalam pengangkatan guru honorer menjadi PPPK/PNS. Serta jaminan penghasilan yang layak dan tepat waktu harus menjadi prioritas, agar guru dapat fokus sepenuhnya pada pengajaran.

Membuka Belenggu dan Mengembalikan Kekuatan

Untuk mengakhiri ironi yang terjadi “pahlawan tanpa tanda jasa,” diperlukan pergeseran paradigma total, bukan hanya sekadar retorika. Regulasi yang mampu melayani dan bukan hanya sekedar menguasai yang tertuang dalam kebijakan. Pemerintah harus melakukan deregulasi besar-besaran, menghilangkan atau menyederhanakan kewajiban administrasi yang tidak substansial. Fokus guru harus di tetapkan pada output (hasil belajar siswa) bukan sekedar input (kelengkapan berkas administrasi). Guru dan sekolah harus diberikan otoritas lebih besar untuk menyesuaikan kurikulum dan metodologi.

Dengan keleluasaan serta penerapan kebijakan yang telah di terapkan. Tentu saja peningkatan dari sudut kompetensi yang diimbangi dengan benefit yang layak. Pengangkatan dan penggajian guru harus didasarkan pada kompetensi dan kinerja yang jelas. Dengan skema yang memastikan semua guru, termasuk honorer, mendapatkan penghasilan yang bermartabat dan berkelanjutan untuk kelayakan hidup.

Begitu maraknya kasus hukum dan bullying terhadap guru, juga perlu kebijakan yang tepat. Perlindungan hukum yang tegas jelas dan kuat untuk melindungi profesi tersebut pada saat menjalankan tugasnya. Selama tindakan yang dilakukan oleh guru masih dalam koridor edukasi dan etika profesi. Namun yang perlu ditanamkan juga adalah peran orag tua sendiri terhadap anaknya. Karena perilaku dan pantauan anak paling besar ada di lingkungan keluarga.

Julukan “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” akan menjadi bermakna kembali apabila ia dibarengi dengan kebijakan yang memuliakan. Guru tidak membutuhkan julukan yang hampa, melainkan regulasi yang memerdekakan dan kesejahteraan yang memartabatkan. Hanya dengan cara itulah mereka dapat sepenuhnya mengerahkan potensi mereka untuk membangun masa depan bangsa. Selain itu sebagai bentuk menjadikan martabat yang sebenarnya juga peran orang tua dengan didikan akan disiplin dan adab dari anaknya.

SELAMAT HARI GURU NASIONAL

 

 

 

Facebook Comments