Hukum menerima kembali sang istri setelah di duga melakukan Zina

0
16

Assalamualaikum..

Bismillahirrahmanirrahim.

اَلْحَمْدُ لله الَّذِيْ أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدَى وَكَفَى بِاللهِ شَهِيْدًا، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ,  وَدِيْنِ الْحَقِّ، لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِاَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ اَجْمَعِيْنَ, أَمَّا بَعْدُ

Sahabat muhammadiyah rahimakumullah pada kesempaat hari ini kami dari Majelis tarjih Muhammadiyah Kab Kudus membagikan kajian seputar tanya jawab.

Ada pertanyaan dari sepasang suami istri, suami asal Semarang dan istri dari Kebumen, suatu hari istri meninggal kan suami pulang kampung ke kebumen tanpa ijin suami. Dalam masa terpisah sang istri menjalin hubungan lawan jenis dg teman SMP ( apakah kumpul kebo…?) Setelah berlangsung 8 bulan sang istri ingin kembali dg suaminya. Bagaimana hukum sang suami menerima kembali istrinya…? Apakah hubungan mereka untuk terjalin kembali sebagai pasangan suami istri perlu menikah lagi…?(Dikhawatirkan perzinaan)

Jawab:

Pertanyaan saudara akan kami bagi menjadi 3 bagian.

  1. Istri yang pergi tanpa ijin suami
  2. Istri yang menjalin hubungan lawan jenis dengan orang lain yang dimungkinkan kumpul kebo
  3. Status pernikahan dari kejadian Pertama, istri yang pergi tanpa ijin suami.

Islam mengajarkan bahwa sepasang suami istri memiliki hak dan kewajiban masing-masing. Kewajiban istri adalah harus taat kepada suaminya serta menjaga dirinya ketika suami tidak ada. Dan menjadi kewajiban suami adalah menjaga kemuliaan dan kehormataan istri. Dalam hal ini, suami diberi hak sekaligus tugas untuk melindungi, mengayomi, mengurusi, dan mengupayakan kemaslahatan keluarga. Bentuk perlindungan suami adalah melalui ijin keluar rumah. Istri diperintahkan untuk meminta ijin kepada suami disaat akan keluar rumah.

وَقَرْنَ فِيْ بُيُوْتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْاُوْلٰى

Artinya: Tetaplah (tinggal) di rumahmu dan janganlah berhias/berdandan (dan bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu. (Q.S. Al Ahzab: 33)

اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ ۗوَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا ۗاِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا ٣٤

Artinya: Suami adalah penanggung jawab atas istri karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari hartanya. Perempuan-perempuan saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada karena Allah telah menjaga (mereka). (Q.S. An Nisa: 34)

Keluarnya istri tanpa ijin suami merupakan salah satu tindakan nusyuz (kedurhakaan).

وَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعُِنَّظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْه

Artinya: Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, berilah mereka nasihat, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu,) pukullah mereka (dengan cara yang tidak menyakitkan. (Q.S. An Nisa: 34)

Konsekuensi dari tindakan ini adalah dosa, kehilangan nafkah, hilangnya rasa hormat dan cinta suami, bahkan kehilangan hak asuh anak jika terjadi perceraian.

Kedua, tindakan istri yang menjalin hubungan lawan jenis dengan teman SMP nya perlu adanya kepastian tentang apakah istri sampai melakukan hubungan fisik seksual atau tidak. Islam mengajarkan kepada kita untuk tidak mudah menuduh perbuatan zina kepada seseorang. Diperlukan syarat khusus agar bisa menjatuhkan tuduhan zina. Jika syarat tidak terpenuhi dan telah melakukan tuduhan zina maka hal ini disebut sebagai Qadzaf yang merupakan dosa besar.

Disisi lain, istri punya hak untuk diam atau menjelaskan secara jujur tentang apa saja yang terjadi selama 8 bulan itu. Jika istri memilih diam serta tidak ada bukti dan saksi atas perbuatan zina istri maka tidak bisa diputuskan (dihukumi) sebagai zina. Dan jika istri mengaku telah berbuat zina maka dia diputuskan telah berbuat zina. Dalam fikih, zina ditetapkan berdasarkan pengakuan diri sendiri dan kesaksian orang lain. Pengakuan atau mengakui secara sadar bahwa dirinya sendiri telah berbuat zina merupakan dasar utama bagi penetapan hukuman. Para ulama tidak berselisih tentang kekuatan pengakuan diri sendiri sebagai dasar pengambilan putusan.

عَنْ جَابِرٍ أَنَّ رَجُلًا مِنْ أَسْلَمَ أَتىَ النَّبِيَّ صَلَّى الَُّلّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ فَقَالَ إِنَّهُ قَدْ زَنىَ فَأَعْرَضَ عَنْهُ فَتَنَحَّى لِشِ قِهِ الَّذِي أَعْرَضَ فَشَهِدَ عَلَى نَفْسِهِ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ فَدَعَاهُ فَقَالَ هَلْ بِكَ جُنُونٌ هَلْ أَحْصَنْتَ قَالَ نَعَمْ فَأَمَرَ بِهِ أَنْ يُرْجَمَ بِالْمُصَلَّى فَلَمَّا أَذْلَقَتْهُ الِْحجَارَةُ جَمَزَ حَتَّى أُدْرِكَ بِالْحرََّةِ فَقُتِلَ

Artinya: dari Jabir bahwa seorang laki-laki dari Bani Aslam mendatangi Nabi saw yang saat itu sedang berada di dalam Masjid. Laki-laki itu mengatakan bahwa ia telah berzina, namun beliau berpaling darinya. Maka laki-laki itu menghadap ke arah wajah beliau seraya bersaksi atas dirinya dengan empat orang saksi. Akhirnya beliau memanggil laki-laki itu dan bertanya: “Apakah kamu memiliki penyakit gila?” ia menjawab, “Tidak.” Beliau bertanya lagi: “Apakah kamu telah menikah?” ia menjawab, “Ya.” Akhirnya beliau memerintahkan untuk merajamnya di lapangan luas. Dan ketika lemparan batu telah mengenainya, ia berlari hingga ditangkap dan dirajam kembali hingga meninggal. (H.R. Al Bukhari 4865)

Adapun konsekuensi yang didapatkan istri yang berzina adalah dosa besar, hilangnnya kehormatan, dan hak suami untuk mengajukan cerai.

Dalam Kompilasi Hukum Islam Buku 1 Hukum perkawinan pasal 116 disebutkan: Perceraian dapat terjadi karena alasan:

  1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
  2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain dluar kemampuannya;

Ketiga, status pernikahan setelah kejadian diatas adalah tetap (tidak sertamerta bercerai). Perceraian terjadi ketika suami istri telah melalui proses perceraian baik secara agama maupun melalui pengadilan agama dengan bukti dan saksi yang kuat.

Jika istri telah kembali ke suami dan bertaubat dari tindakannya maka suami bisa menerima kembali istri dan tidak menyusahkan urusannya. Disisi lain suami memiliki hak untuk melanjutkan atau

 

memutuskan pernikahannya. Suami juga perlu mempertimbangkan dampak sosial dan psikologis yang akan didapatkan dirinya, istri, anak-anak serta orang tua.

فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا ۗاِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا

Artinya: Jika istri menaatimu, janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar. (Q.S. An Nisa: 34)

وَبُعُوْلَتُهُنَّ اَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِيْ ذٰلِكَ اِنْ اَرَادُوْٓا اِصْلَاحًا

Artinya: Suami-suami mereka lebih berhak untuk kembali (rujuk) kepada istri mereka, jika mereka menghendaki perbaikan. (Q.S. Al Baqarah: 228)

Jika pernikahan tetap dilanjutkan, maka suami perlu menunggu 1 kali haid dan suci untuk ‘menyentuh’ istrinya kembali. Hal ini sebagai upaya mencegah dari keraguan adanya keturunan yang ada setelah tindakan zina yang telah dilakukan.

Penulis : Ustadz Firman Budi Satria, S.Th.I (Ketua Majelis tarjih Muhammadiyah Kudus)
Facebook Comments