Di Persimpangan Iman dan Keluarga: Dilema Mualaf Menghadapi Natal

31

Penulis : Tunjung Eko Wibowo

Indonesia sebagai negara yang majemuk dan multi etnis, menjadi negara dengan ragam agama dan budaya. Sebuah negara yang kehidupan masyarakatnya bersentuhan langsung keberagaman sebagai pilar utama. Dalam setiap akhir tahun selalu menghadirkan perayaan besar, khususnya Natal. Namun bagi satu kelompok minoritas yang tumbuh pesat termasuk mualaf, Natal bukan sekadar momen liburan nasional. Ia adalah waktu ujian pergulatan batin, di mana garis antara akidah dan kekeluargaan diuji secara nyata.

Mualaf yang kini memegang teguh keyakinan ketauhidannya, harus menghadapi orang tua dan keluarga asal mereka yang masih memeluk agama Protestan atau Katolik. Mereka berdiri di persimpangan dua cinta yang sakral, komitmen mutlak kepada Allah swt dan kewajiban moral untuk berbakti kepada orang tua (birrul walidain).

Bagaimana jika seorang mualaf dapat memenuhi panggilan Ilahi untuk berbakti tanpa mengkompromikan loyalitas dan penolakan akidah? Karena kebanyakan dari kita semua, agama yang dianut lebih banyak karena keturunan. Apabila dalam pencarian hidup pada akhirnya mualaf, dalam bentuk apapun itu hak pribadi. Namun Islam dalam hal ini tetap mempunyai ketegasan dan tuntunan akhlak yang universal, sehingga diterima oleh masyarakat yang multiras dan multietnis.

Prinsip Dasar Universal Sebagai Fondasi Konsensus Umat

Meskipun terdapat ragam organisasi dan mazhab dalam Islam, (penulis) berkaca dari sikap Muhammadiyah terhadap perayaan agama lain berakar kuat pada pemurnian akidah dan pemisahan tegas antara urusan Ibadah (hubungan vertikal dengan Allah) dan Muamalah (hubungan horizontal antarmanusia). Sehingga mualaf dapat melewati masa-masa dengan iman yang kokoh dan akhlak yang mulia.

Prinsip yang jelas

Muhammadiyah berpegangan pada prinsip yang menegaskan independensi akidah Islam, yang dituliskan dalam Surat Al-Kafirun  ayat 6, (Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku).

  • Muhammadiyah cenderung mengharamkan ucapan “Selamat Natal.” Hal ini sebagai upaya mencegah jalan yang mengarah pada haram. Walaupun ucapan tersebut berniat sosial, secara teologis mengandung pengakuan. Maka dari itu tetap berprinsip bahwa (dirinya) sudah Islam. Jika diucapkan dianggap masih memiliki keyakinan terhadap (ketuhanan) Yesus.
  • Partisipasi Ritual yang tidak boleh dilakukan lagi. Termasuk didalamya menghadiri Misa keluarga (apalagi di Gereja) atau kebaktian. Karena Misa/Kebaktian sebagai ibadah wajib yang sarat makna keimanan yang bertentangan langsung dengan syahadat yang diucapkan oleh Mualaf.

Hal ini buka sebagai bentuk tindakan intoleran, tetapi justru hal ini untuk menghormati pemeluk peribadatan agama lain. Bukan sekedar kafir atau haram, tetapi bentuk menghargai itu sebagai menjaga sebuah keyakinan yang sebenarnya.

Kewajiban universal dalam toleransi

Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan ikatan kekeluargaan. Sehingga kewajiban berbakti kepada orang tua sangat dijunjung tinggi, walaupun non muslim kecuali orang tua memaksa anak melakukan kejahatan atau melanggar perintah Tuhan dan agama. Dan didalamnya Persyarikatan Muhammadiyah sangat menjunjung tinggi prinsip toleransi dalam pergaulan sosial.

Dalam menghadapi dilema keluarga mualaf, terdapat sudut pandang yang perlu diketahui, yaitu :

  • Sebagai mualaf harus ada penolakan dalam hal akidah, karena memang sudah berbeda
  • Kewajiban berbakti kepada orang tua (birrul walidain) tetap berlaku. Bakti ini diwujudkan dalam urusan duniawi, seperti merawat, menghormati, memberi nafkah, dan menjaga hubungan.
  • Dalam kehidupan keluarga ada kewajiban untuk tetap bergaul sebagai mahkluk sosial. Memelihara kerukunan antarumat beragama adalah bagian dari muamalahyang dianjurkan

Intinya kita wajib menolak ajaran mereka, tetapi haram menolak kasih sayang kita kepada mereka.

Mualaf di Muhammadiyah Itu Praktis

Mudahnya kita pisahkan dulu antara ibadah dan muamalah, sehingga kita tidak perlu berbelit-belit untuk diperdebatkan. Prinsip dasarnya bagaimana mualaf tidak melanggar tauhid serta akidanya tapi dapat berinteraksi dengan baik. Sehingga kehidupan berkeluarga dan bersosial masih tetap bisa dijalani sebagai manusia dan keluarga.

Silaturahmi bentuk ibadah yang bukan ritual keagamaan

Sebagai bentuk birrul walidain yang dianjurkan, sebagai mualaf datang dengan niat menjenguk, menunjukkan kasih sayang, makan bersama dan berbagi cerita. Sebagai wujud baktinya anak terhadap orang tuanya. Kunjungan ini harus diatur di luar waktu ritual inti (Misa Malam atau Pagi).

Kedepankan sosial toleransi sesama manusia

Bentuk toleransi sosialmanusia adalah menghormati, menjaga dan mempunyai batasan yang telah di tentukan. Sehingga tidak ada konflik atau perselisihan antar manusia sebagai mahkluk Tuhan. Kehadiran sebagai mualaf harus diposisikan sebagai kunjungan sosial kekeluargaan, bukan bagian dari perayaan keagamaan. Mualaf dapat menyibukkan diri di area keluarga (ruang makan atau tamu) dan saling mmenghormati untuk tidak mengikuti dalam prosesi doa. Penyampaian maksud penolakan juga disampaikan dengan kelembutan seorang muslim.

Sikap Cerdas Mualaf

Mengucapkan dengan Kelembutan dan Doa Kebaikan

Dalam konteks ucapan “Selamat Natal,” perbedaan pandangan ulama sering membingungkan. Muhammadiyah misalnya, cenderung mengharamkan agar tetap berpegang tuguh dengan keimanan Islam. Natal sendiri adalah bentuk keteguhan teologis terhadap Yesus. Walaupun ada sebagian orang masih dianggap sebagai ucapan sosial dan bukan ritual.

Bagi mualaf di masyarakat majemuk, berlaku bijak saja dengaan ucapan-ucapan kebiasaaan yang baik atau doa yang baik secara umum. Sebagai bentuk ucapan yang baik adalah bentuk semangat dalam kebaikan.

Ucapan Natal, bisa saja diganti dengan, “Semoga papa mama selalu dalam kedamaian dan kebahagian di hari libur ini”

Jika secara khusus, “Papa Mama, kami sekeluarga datang untuk kebahagiaan bersama keluarga di liburan ini dan semoga selalu diberi kesehatan”

Bila diucapkkan untuk keluarga besar, “Semoga Tuhan Allah swt, selalu memberikan berkah perlindungan dan kebaikan untuk kalian serta keluarga ini”

Ucapan-ucapan diatas menunjukkan sebuah toleransi dan kemanusiaan tanpa menyentuh keyakinan prinsip keagamaan. Sehingga hal itu rasanya tidak berisiko merusak Tauhid. Jalan tengah ini tentu tidak jadi pertentangan sehingga menenangkan hati tanpa mengorbankan keimanan.

Ekspresi Kasih Sayang yang Halal

Memberikan ekspresi sebagai penghormatan juga hal yang lumrah. Seperti yang sering dilakukan dengan pemberian hadiah. Sebagai bentuk muamalah dengan kerabat atau orang tua dianjurkan sebagai wujud bakti. Mualaf diperbolehkan memberikan hadiah kepada keluarga non-Muslim saat Natal. Namun hadiah tersebut bukan barang yang akan digunakan dalam ritual peribadatan (misalnya, patung, salib, atau properti gereja). Pilihlah hadiah yang bersifat umum seperti makanan, pakaian, atau kegemaran dari keluarga tersebut dan bisa dengan kebutuhan rumah tangga.

Prinsip Ketaatan di Tengah Tekanan

Ujian terberat datang ketika orang tua menuntut partisipasi dalam ritual atau mengancam memutuskan hubungan (membenci). Islam telah memberikan batasan serta solusi yang memberikan makna sebuah kebaikan. Kita harus memberikan pemaahaman dengan baik dan tidak menyinggung, bahwa peribadatan keagamaan sudah tidak bisa jalankan lagi.

Karena paada prinsipnya ketaatan kepada Allah (menjaga akidah) berada di atas Ketaatan kepada Makhluk (orang tua). Namun, penolakan ini harus diiringi dengan keunggulan akhlak yang luar biasa. Dalam penolakan tersebut kita ganti dengan kebaikan non-ritual yang melimpah (hadiah, bantuan finansial, waktu bersama). Buktikan bahwa penolakan ini adalah karena prinsip, bukan karena kurangnya cinta atau bakti. Sikap ini membuktikan bahwa penolakan itu murni karena iman dan cinta anak kepada orang tua tidak pernah berkurang

Implikasi bagi Masyarakat Multikultural

Sikap bijak mualaf dalam menghadapi Natal tidak hanya tentang urusan pribadi, tetapi juga tentang wajah Islam di mata masyarakat majemuk. Kita juga mampu menunjukkan kebaikan sebagai citra Muhammadiyah tetap toleran, lembut dan menjaga silaturahmi dengan keluarga.

Peran dan pesan kedamaian

Ketika seorang mualaf mampu menjaga keimanan dengan kokoh namun tetap memperlakukan orang tuanya dengan penuh hormat dan kasih sayang. Kita menjadi teladan nyata dari konsep rahmat bagi seluruh alam. Tindakan ini efektif mematahkan stigma bahwa Islam adalah agama yang kaku atau tidak toleran terhadap ikatan kekeluargaan.

Tetap konsisten dalam memurnikan akidah dari unsur-unsur syirik. Menciptakan akhlak terbaik yang mampu menjadi teladan yang unggul, di mana ketegasan iman tidak menghalangi praktik toleransi sosial dan bakti kepada keluarga.

Mungkinkah Mualaf Mendapat Dukungan dari Komunitasnya?

Katanya, mualaf tidak boleh dibiarkan sendirian dalam dilema ini. Tetapi yang selama ini terjadi, terkadang memang agak berbeda. Sebagai mualaf memang harus membuka diri dan tidak perlu malu. Dakam pemahaman (penulis) kemudahan itu didapatkan dari tetangga sesama muslim, masjid, organisasi, kajian).

Harus diakui kita kesulitan dalam menyeimbangkan iman dan keluarga. Namun sebagai Jawa, bahwa perbedaan itu bukan penghalang untuk menjauh. Harus menyeimbangkan rasa dalam bentuk meningkatkan iman tanpa menjauhi keluarga.

Mencoba untuk mengejaar ketertinggalan, selalu belajar dengan bimbingan dari ustadz. Dengan kedalaman dan pemahaman, sehingga mualaf memiliki kekuatan batin untuk menolak tanpa merasa bersalah berlebihan.

Menjaga Keimanan, Memelihara Kemanusiaan

Mualaf berada dalam posisi yang unik, menjadi penghubung hidup antara dua keyakinan besar. Kisah ini adalah pelajaran tentang bagaimana akidah dan akhlak harus berjalan beriringan. Dengan mengamalkan ketegasan akidah dengan tidak ikut serta dalam ritual dan keluhuran akhlak (mempergauli orang tua dengan kebaikan yang maksimal).

Sebagai mualaf mampu menunjukkan bahwa Islam bukanlah agama yang anti keluarga atau anti toleransi. Sebaliknya, Islam menggariskan jalan untuk memelihara ikatan darah sambil menjaga kebersihan jiwa dan keimanan. Di lingkungan Muhammadiyah, tantangan Natal adalah kesempatan untuk membuktikan bahwa Islam menawarkan jalan tengah yang sempurna. Tegak lurus dalam prinsip, namun lentur dan penuh kasih sayang dalam pergaulan hidup.

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kekuatan kepada saudaraku mualaf untuk melewati ujian ini dengan ketenangan hati dan kebijaksanaan. Amin.

(Dikupas dari sudut pandang mualaf)
Facebook Comments