Bergandengan Tangan atau Kehilangan Ruh: Menegakkan Kembali Kemuhammadiyahan

36

Penulis : Rokhmat Widodo, Ketua Ranting Muhammadiyah Klaling dan Anggota MPM PDM

Bergandengan tangan membangkitkan ruh Kemuhammadiyahan bukanlah slogan pemersatu yang hampa, melainkan tesis keras tentang hidup-matinya sebuah gerakan Islam modern. Muhammadiyah tidak pernah dilahirkan untuk menjadi organisasi yang nyaman dengan rutinitas, apalagi terjebak pada kebanggaan institusional tanpa keberanian moral. Ia hadir sebagai gerakan tajdid yang hanya bisa hidup jika ruh kolektifnya terus dijaga: ruh tauhid yang mendorong kerja nyata, disiplin berpikir, dan keberpihakan tegas pada kemaslahatan umat.
Sejarah membuktikan, Muhammadiyah tumbuh besar bukan karena tokoh tunggal atau elite tertentu, tetapi karena kesanggupan berjamaah secara sadar dan terorganisasi. Bergandengan tangan adalah fondasi ideologis sekaligus strategi gerakan. Dalam kerangka teori gerakan sosial, kohesi internal dan kepercayaan antarkader menjadi prasyarat utama keberlanjutan. Ketika ego personal, friksi kepentingan, dan politik simbolik lebih dominan daripada visi kolektif, ruh Kemuhammadiyahan pelan-pelan terkikis, meski bangunan amal usaha tampak megah.
Ruh Kemuhammadiyahan sejatinya adalah etos berkemajuan: keberanian mengoreksi diri, kesediaan melakukan pembaruan, dan keteguhan menjaga nilai dasar Islam dari segala bentuk penyimpangan pragmatis. Etos ini menuntut kerja kolaboratif yang jujur, bukan solidaritas semu. Bergandengan tangan berarti menyatukan pikiran dan tindakan, menyelaraskan dakwah dengan ilmu, serta memastikan bahwa kekuatan organisasi tidak menjelma menjadi kekuasaan yang jauh dari nurani sosial.
Di tengah tantangan mutakhir—komersialisasi amal, banalitas dakwah, dan godaan politik praktis—membangkitkan ruh Kemuhammadiyahan tidak cukup dengan retorika ideologis. Ia menuntut keberanian struktural untuk menegakkan etika berjamaah, memperkuat peran akar rumput, dan mengembalikan amal usaha sebagai instrumen pencerahan, bukan sekadar mesin administrasi. Tanpa itu, Muhammadiyah berisiko menjadi organisasi besar yang kehilangan jiwa.
Bergandengan tangan, dalam makna terdalamnya, adalah sikap moral: menyingkirkan intrik, menolak saling meniadakan, dan mengakui bahwa kebenaran gerakan lebih besar daripada kepentingan individu. Di titik inilah ruh Kemuhammadiyahan menemukan kembali dayanya—bukan sebagai nostalgia masa lalu, tetapi sebagai energi perubahan yang menggugat kemapanan, membela yang lemah, dan menuntun umat menuju masa depan yang tercerahkan.

Facebook Comments