Ainur Rofiq, Kader Muhammadiyah Kudus yang Kini Mengabdi sebagai Dosen di Universitas Muhammadiyah Indonesia

59
Di antara deru modernisasi pendidikan tinggi dan dinamika organisasi kemasyarakatan, hadir sosok muda yang tenang, rendah hati, dan penuh dedikasi. Namanya Ainur Rofiq, SIP, M.IP., kader Muhammadiyah asal Kudus yang kini mengajar di kampus yang sedang bersiap menjadi salah satu ikon perguruan tinggi baru di Indonesia: Universitas Muhammadiyah Indonesia, transformasi dari Unisma 45 Bekasi.
Meski jadwal mengajarnya padat dan aktivitas organisasinya bertumpuk, Ainur Rofiq tetap mudah ditemui, mudah dihubungi, dan—seperti kesaksian banyak orang—selalu membalas pesan WhatsApp siapa pun yang menghubunginya. Cara komunikasinya membuat orang merasa seperti telah mengenalnya bertahun-tahun, meskipun baru beberapa menit berkenalan. Itulah yang memberi warna pada dirinya: seorang intelektual muda yang hangat, inklusif, namun tetap kokoh dengan prinsip.
Ainur Rofiq lahir dan besar di lingkungan keluarga Muhammadiyah di Kudus. Sejak awal, identitas persyarikatan begitu melekat dalam dirinya—not just affiliation, but a way of life.
Ia mengawali pendidikan di SD Muhammadiyah 1 Kudus, salah satu sekolah Muhammadiyah paling bersejarah di kota itu. Di masa itulah ia mengenal dasar-dasar keislaman yang berkemajuan, kedisiplinan, dan etos kerja yang kemudian menjadi fondasi kehidupannya.
Setelah lulus SD, Ainur melanjutkan ke SMP Negeri 1 Kudus dan SMA Negeri 1 Kudus—dua sekolah favorit dan kompetitif. Meski berada dalam sistem pendidikan negeri, Ainur tidak pernah melepas identitas organisasi asalnya. Ia tetap aktif dalam kegiatan Muhammadiyah, mengikuti pengajian, diskusi, hingga kegiatan kepemudaan.
“Sekolah boleh di mana saja, tapi jati diri sebagai kader tetap saya jaga,” begitu ia sering mengungkapkan kepada teman-temannya.
Kecintaannya pada isu-isu publik membawa Ainur ke Yogyakarta, memasuki bangku Ilmu Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM)—kampus yang menjadi kawah candradimuka bagi banyak ilmuwan politik dan birokrat Indonesia.
Di UGM, Ainur bukan hanya belajar teori pemerintahan, tetapi juga aktif berdiskusi, membaca, menulis, dan terlibat organisasi. Lingkungan kampus biru itu mempertemukan dirinya dengan banyak pemikir muda, memperkaya perspektifnya tentang demokrasi, negara, dan masyarakat sipil.
Ia juga melanjutkan pendidikannya ke jenjang magister di Program Studi Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI), memperdalam analisis politik dan kebijakan publik. Kombinasi pengalaman dua universitas besar ini menjadikannya punya wawasan pemerintah dan politik yang komprehensif—perpaduan analitis, kritis, namun tetap membumi.
Ketika Unisma 45 Bekasi resmi diakuisisi PP Muhammadiyah dan berubah nama menjadi Universitas Muhammadiyah Indonesia, Ainur berada tepat di masa transisi itu. Baginya, perubahan itu bukan sesuatu yang asing. Sejak awal ia melihat Unisma memiliki potensi besar, dan kini dengan sentuhan Muhammadiyah, potensinya semakin jelas.
“Saya seperti pulang kampung,” ujarnya sambil tersenyum ketika ditanya tentang perubahan kampus.
Di kampus itu, ia mengajar mata kuliah terkait pemerintahan, kebijakan publik, dan politik. Ia bukan tipe dosen yang hanya membaca slide. Ia membangun ruang dialog, memberikan perspektif lapangan, dan mendidik mahasiswa untuk berpikir kritis, bukan sekadar menghafal teori.
Mengobrol dengan Ainur tentang Muhammadiyah, politik, atau pemerintahan selalu terasa mengalir. Wawasannya luas, penyampaiannya runut, dan yang paling penting, ia hadir sebagai pendengar yang baik.
Dalam sebuah obrolan santai, Ainur Rofiq menyampaikan kabar yang hanya diketahui sebagian kecil civitas akademika. Universitas Muhammadiyah Indonesia sedang mempersiapkan pembukaan Fakultas Kedokteran.
Langkah ini bukan sekadar ambisi institusi, tetapi komitmen Muhammadiyah untuk memperkuat peran sosialnya melalui pendidikan dan kesehatan.
“Semoga kampus ini menjadi pusat ilmu yang membawa manfaat luas,” kata Ainur.
Ia yakin, dengan modal jaringan, budaya kerja, dan identitas Muhammadiyah yang kuat, kampus baru itu kelak menjadi salah satu universitas unggulan.
Bagi Ainur, mengabdi sebagai dosen bukan hanya pekerjaan, tetapi panggilan moral. Ia memegang teguh prinsip fastabiqul khairat—berlomba dalam kebaikan—yang sering ia sampaikan kepada mahasiswa dan koleganya.
Prinsip itu pula yang membuatnya aktif dalam berbagai kegiatan pengabdian masyarakat, riset kebijakan publik, hingga pembinaan kader muda.
Dalam dirinya, terhimpun tiga karakter inti kader persyarikatan: kecerdasan intelektual, keteguhan moral, dan Kerendahan hati.
Ainur Rofiq adalah jejak dari banyak hal: tradisi Muhammadiyah di Kudus, disiplin akademik UGM dan UI, dan komitmen pengabdian yang tidak pernah padam. Ia bukan hanya dosen—ia adalah cermin generasi muda persyarikatan yang siap berkontribusi bagi bangsa.
Di tengah kesibukannya, ia tetap menjaga kehangatan pergaulan, tetap mudah dihubungi, tetap menjawab pesan siapa pun. Dan dari ruang-ruang kelasnya, ia tengah mempersiapkan generasi baru yang kelak akan mengisi ruang-ruang pemerintahan, kebijakan, dan organisasi kemasyarakatan.
Ainur Rofiq mungkin masih muda. Tetapi bila menengok semangat dan konsistensinya, tampak jelas ia sedang berjalan menuju jalan panjang pengabdian—jalan kader Muhammadiyah yang tak pernah selesai.
Kontributor : Rokhmat Widodo Sekretaris Jatam Kudus
Facebook Comments