Tragedi Berulang, Bencana Alam Adalah Kolaborasi Takdir dan Kegagalan Kebijakan Pemerintah

30

Penulis : Tunjung Eko Wibowo

Indonesia adalah negara yang berpotensi besar terlanda beragam bencana alam setiap saat. Posisinya yang berada di lempeng Indo – Australia, Eurasia, Pasifik dan Little Filiphina. Selain negeri yang indah dengan gugusan zamrud khatulistiwa, namun berdiri di atas cincin api Pasifik (Ring of Fire). Julukan ini membawa konsekuensi ganda, kekayaan geologi yang luar biasa, namun juga ancaman bencana yang tak terhindarkan.

Dalam beberapa waktu terakhir, frekuensi dan dampak bencana banjir bandang di Aceh, Sumatra Utara dan sebagian Sumatra Barat. Dan tak luput erupsi gunung telah meningkat secara signifikan di Lumajang (Gunung Semeru). Badai siklon tropis Senyar menjadi fenomena tersendiri pada bencana kali ini. Bukan lagi sekadar perubahan siklus cuaca atau takdir alam yang harus diterima, tetapi juga sebuah cermin buramnya atas kegagalan sistemik etika pengelolaan lingkungan. Belum lagi kecerobohanatas sebuah kebijakan menjadikan lingkungan semakin rusak dan ekosistem alam tidak terpelihara dengan baik.

Timbulnya Kerusakan Sebagai Fakta Bencana

Indonesia menjadi negara dengan tingkat kerentanan bencana hidrometeorologi dan geologi yang sangat tinggi. Data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) secara konsisten menunjukkan bahwa bencana hidrometeorologi termasuk banjir, banjir bandang, gunung meletus dan tanah longsor mendominasi jumlah kejadian bencana setiap tahunnya. Terutama di wilayah yang daya dukung lingkungan semakin buruk. Hal ini mengakibatkan air hujan tidak dapat di serap, sehingga debit air tinggi mengakibatkan bajir.

Air yang mengalir tidak dapat di tampung oleh sungai yang mulai dangkal dan sempadan sungai beralih fungsi. Belum lagi drainase pemukiman penduduk semakin buruk, sehingga hal itu memperparah daerah dengan kontur tanah yang rendah. Bahaya kembali muncul di kawasan perbukitan yang kehilangan pohon hutan sebagai penyangga longsor. Karena semakin jarangnya pepohonan akibat pembalakan liar dan termasuk hutan industri yang mengakibatkan erosi.

Banjir Bandang Menjadi Palu Penghancur

Banjir bandang di Aceh, Sumatra Utara dan Sumatra Barat yang ditandai dengan datangnya air bah secara tiba-tiba. Dengan kecepatan dan debit yang ekstrem hal itu menjadi mimpi buruk yang berulang. Meskipun pemicu utamanya adalah intensitas hujan yang tinggi (faktor alam), kerusakan parah dan tingginya korban jiwa sering kali diperburuk oleh faktor-faktor non-alam (faktor manusia).

Secara disengaja deforestasi dan degradasi lahan dengan cara penebangan hutan. Baik ilegal maupun legal dengan mengantongi izin yang cacat. Di wilayah hulu menyebabkan hilangnya fungsi hutan sebagai penyangga hidrologi dan daerah resapan air. Ketika vegetasi penutup hilang, air hujan langsung mengalir ke permukaan, meningkatkan run-off, dan membawa serta material padat (lumpur, kayu, batu).

Belum lagi alih fungsi lahan yang tidak terkontrol dengan baik dan cenderung melanggar regelasi. Pembangunan permukiman, resort dan infrastruktur di daerah tangkapan air atau bantaran sungai telah mempersempit alur sungai dan mengurangi daerah resapan air (catchment area). Perubahan tata ruang ini membuat daerah hilir semakin rentan.

Sampah yang menumpuk di sekitar bantaran mengakibatkan sedimentasi tanah. Perilaku masyarakat yang membuang sampah sembarangan ke sungai menyebabkan penyumbatan signifikan, yang kemudian memicu luapan air atau bendungan alami yang jebol saat volume air membesar. Contoh nyata tragedi ini dapat dilihat dari berbagai kasus, seperti banjir bandang di beberapa wilayah Sumatera dan Jawa dalam beberapa pekan terakhir. Di mana material kayu gelondongan yang terbawa arus menjadi bukti nyata adanya eksploitasi hutan di hulu. Hutan yang seharusnya sebagai penyangga erosi dan penyerapan air, sudah tidak mampu lagi karena kecerobohan.

“Banjir yang semakin meluas di Sumatra Utara, akibat ulah tidak tegasnya UU untuk menata kembali perihal periinan deforestasi besar-besaran. Sehingga hal itu memicubanjir bandang yang belum surut yang dibarengi intensitas hujan cukup tinggi “ Kata Rianda Purba, Direktur Eksekutif Walhi Sumatra Utara (Dikutip dari BBC Indonesia, 27/11/2025)

Gunung Meletus dan Lahar Dingin Merupakan Ancaman Geologi yang Dipicu Iklim

Sebagai negara yang terletak di persimpangan lempeng tektonik, Indonesia memiliki lebih dari 127 gunung api aktif. Erupsi menjadi bagian tak terpisahkan dari lanskap geologi Indonesia. Namun, bencana yang sering menyertai dan memiliki dampak destruktif jangka panjang adalah banjir lahar dingin (atau lahar hujan).

Letusan gunung api seperti Gunung Semeru saat ini secara berkala melepaskan material vulkanik (pasir, kerikil, abu). Material ini menumpuk di lereng gunung. Pada saat hujan lebat turun maka material vulkanik yang tidak stabil di lereng tersebut terbawa arus. Sehingga menjadi aliran lumpur pekat dan panas yang sangat merusak lahan hutan, pertanian maupun pemukiman penduduk.

Namun ironisnya, aktivitas penambangan pasir dan batu di lereng gunung api sering kali dilakukan secara ilegal atau semi-legal. Meskipun aktivitas ini dengan dalih “membersihkan material” yang bertumpulk. Penambangan yang tidak terencana dengan baik justru dapat mengubah dan merusak geometri sungai serta tanggul alam. Sehingga hal tersebut menjadikan daerah di bawahnya semakin rentan terhadap terpaan lahar dingin.

Fenomena lahar dingin Semeru baru-baru ini memperlihatkan bagaimana kombinasi antara material vulkanik alamiah dan curah hujan tinggi. Dengan kondisi iklim tersebut masih diperparah oleh kerentanan yang diciptakan oleh aktivitas manusia di sepanjang aliran sungai.

Regulasi yang Mandul Antara Hukum di Atas Kertas dan Praktik di Lapangan

Indonesia memiliki kerangka hukum yang relatif komprehensif terkait penanggulangan bencana, terutama melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Namun, akar masalah utamanya terletak pada disparitas yang lebar antara regulasi yang tertulis dengan implementasinya di lapangan.

Mitigasi awal sebagai sarana pencegahan bencana tidak berjlan dengn baik. Setiap kebijakan yang dituangkan hanya menjadi retorika di atas kertas namun langka tindakan saat terjadi pelanggaran. Sebagai contoh hingga saat ini tata kelola perihal Rencana Tata Ruang (RTRW) masih bersinggungan untuk diajak kompromi. Regulasi tata ruang mewajibkan adanya zonasi kawasan rawan bencana (KRB) dan kawasan lindung.

Namun, seringkali terjadi revisi RTRW di tingkat daerah yang mengakomodasi atas kepentingan investasi, Yang sebenarnya mengorbankan kawasan hutan lindung dan sempadan sungai. Hal ini terbukti dari pemberian izin untuk resort, perkebunan atau pertambangan di zona merah. Pelanggaran terhadap UU Penataan Ruang ini akhirnya menjadi bom waktu seperti bencana saat ini. Sanksi pidana dan administrasi terhadap pelanggaran tata ruang tidak dapat diterapkan secara maksimal. Sehingga menyebabkan bencana dan menciptakan impunitas bagi para pelanggar.

Akibat dari kurang tegasnya tindak pelanggaran, hal ini berawal dengan dipicunya pengawasan lingkungan yang lemah. Izin atas Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) seringkali menjadi formalitas belaka. Proyek-proyek yang jelas berpotensi merusak lingkungan, terutama di wilayah hulu atau lereng gunung, tetap berjalan karena lemahnya pengawasan. Belum lagi dengan lemahnya pengawasan akan berpotensi korupsi berupa penyuapan dalam proses perizinan.

Penertiban atas penambangan liar (galian C) di alur sungai dan lereng gunung cenderung sporadis. Bohir-bohir penambang galian C secara terang-terangan dan tidak berkelanjutan, padahal aktivitas ini secara akan merusak struktur tanah dan memperparah erosi. Sehingga kerusakan struktur tanah di lereng pegunungan akan memicu banjir bandang dan lahar dingin.

Ketidakpastian di Tahap Tanggap Darurat dan Pasca-Bencana

Meskipun respons saat tanggap darurat (evakuasi, logistik) seringkali berjalan cepat berkat kerja keras BNPB/BPBD dan relawan, fase pasca-bencana juga menghadapi tantangan regulasi. Yang sering terjadi dalam tahapan rehabilitasi penanganan bencana juga tidak sesuai kaidah bencana. Regulasi pasca-bencana menekankan rekonstruksi yang lebih baik (Build Back Better).

Namun, realitasnya, pembangunan kembali terkadang dilakukan di lokasi yang sama-sama rentan karena tekanan sosial dan politik lokal. Sehingga mengabaikan rekomendasi relokasi dari ahli kebencanaan. Dengan demikian akan menimbulkan permasalahan yang baru kedepannya nanti. Upaya reboisasi dan reforestasi di kawasan hulu seringkali terhenti di tengah jalan karena minimnya koordinasi, pendanaan, dan lemahnya pengawasan terhadap lahan yang telah direhabilitasi.

Intinya, masalah bencana di Indonesia adalah masalah penegakan hukum dan konsistensi kebijakan. Regulasi sudah ada, tetapi praktik di lapangan terdistorsi oleh kepentingan ekonomi jangka pendek yang mengesampingkan keberlanjutan lingkungan dan keselamatan publik. Hambatan ini muncul dari desain sistem regulasi dan birokrasi itu sendiri. Undang-undang seringkali memerlukan banyak peraturan pelaksana (Peraturan Pemerintah, Peraturan Kepala BNPB, dll), untuk dapat diterapkan secara teknis di lapangan. Keterlambatan atau ketidaklengkapan dalam pembentukan regulasi turunan ini membuat implementasi di daerah menjadi ambigu atau mandul.

Penanggulangan bencana adalah urusan lintas sektor yang melibatkan Kementerian PUPR (infrastruktur), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (lingkungan), Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN), hingga Pemerintah Daerah (Pemda). Sering terjadi tumpang tindih atau egosektoral antar lembaga, yang mengakibatkan koordinasi yang lemah dan kebijakan di lapangan tidak sinkron.

Kelemahan Kelembagaan Daerah (BPBD): Banyak Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di tingkat kabupaten/kota yang belum memiliki sumber daya manusia (SDM) yang memadai, anggaran yang cukup, dan struktur operasional yang kuat, sehingga kesulitan untuk melaksanakan fungsi mitigasi dan tanggap darurat secara efektif.

Sebuah Refleksi Spiritual dari Kacamata Islam

Dalam konteks bencana yang kian memburuk ini, umat Islam di Indonesia memiliki landasan spiritual yang mendalam untuk merenung dan bertindak. Umat Islam terutama dari Persyarikatan Muhammadiyah perlu menjalankan spirit secara komprehensif, mencakup dimensi spiritual, sosial, dan etika lingkungan.Al-Qur’an, dalam Surah Ar-Rum Ayat 41, menyampaikan pesan yang tegas dan relevan:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُون

( Ẓaharal-fasādu fil-barri wal-baḥri bimā kasabat aidin-nāsi liyuzīqahum ba‘ḍal-lażī ‘amilū la‘allahum yarji‘ūn ).

Artinya: Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

Implementasi dalam Konteks Bencana Indonesia

Ayat ini menyiratkan beberapa pandangan kunci yang harus menjadi panduan etika dalam menghadapi bencana. Dalam surat tersebut dijelaskan bahwa terlah terjadi kerusakan yang meliputi dasar dan laut.  Hal ini menunjuk bahwa kerusakan ekologis, seperti banjir bandang akibat deforestasi (kerusakan di darat) dan bencana geologi yang diperparah (aktivitas pertambangan merusak keseimbangan alam), adalah konsekuensi langsung dari “perbuatan tangan manusia”. Ini menolak anggapan bahwa semua bencana bersifat purely takdir yang lepas dari tanggung jawab moral dan hukum manusia. Eksploitasi hutan, korupsi perizinan, dan pelanggaran tata ruang adalah bentuk nyata.

Bencana yang menimpa merupakan “sebagian” dari akibat perbuatan buruk manusia. Ini adalah peringatan, bukan hukuman total. Jika Allah menimpakan seluruh akibatnya, kehidupan di bumi akan hancur lebur. Ini menunjukkan kasih sayang Allah yang masih memberikan kesempatan kepada manusia untuk sadar dan bertobat, baik secara individual maupun kolektif (negara). Tujuan utama dari peringatan ini adalah untuk memicu perubahan total (tawbah) dan “kembali” kepada kaidah yang benar. Dalam konteks bencana dan regulasi, “kembali ke jalan yang benar” .

Sebagai insan yang bertaqwa langkah kita harus lebih mawas diri. Dimulai dengan Penerapan Maslahah (Kebaikan Umum) di atas Keuntungan Individu. Menghentikan perizinan yang merusak alam demi keuntungan segelintuk individu atau korporasi. Penegakan Hukum yang Adil dengan mengadili para pelanggar hukum lingkungan dan tata ruang tanpa pandang bulu, sesuai dengan semangat keadilan Islam. Menjalankan peran sebagai Khalifah (Pemimpin/Pengelola) di bumi dengan menjaga keseimbangan ekosistem dan memastikan keberlanjutan sumber daya alam.

Bencana alam yang terjadi adalah hasil kolaborasi tragis antara kerentanan alam (Ring of Fire dan iklim tropis) dan kerentanan struktural (kegagalan penegakan regulasi). Kita memiliki UU yang canggih, tetapi kita membiarkan implementasinya terdistorsi. Pesan dari Surah Ar-Rum 41 adalah panggilan spiritual dan moral: Bencana ini adalah peringatan. Jika kita ingin mengakhiri siklus tragedi yang berulang, bangsa ini harus kembali kepada kaidah hukum yang adil.

Kembali kepada tata ruang yang berpihak pada kelestarian lingkungan, dan kembali kepada kesadaran bahwa kita adalah khalifah yang bertanggung jawab atas bumi, tidak hanya sebagai pengeksploitasi. Penegakan regulasi yang tegas terhadap perusakan lingkungan di hulu dan penertiban tambang liar di lereng gunung bukanlah sekadar tugas birokratis, melainkan wujud konkret dari kepatuhan terhadap amanah ilahi untuk menjaga bumi dari al-Fasad.

Hanya dengan menyatukan kehendak politik, penegakan hukum yang tak kenal kompromi dan kesadaran spiritual untuk menjaga alam, Indonesia dapat keluar dari persimpangan bencana ini. Dan Muhammadiyah harus mampu menjadi jembatan menuju lebih baik lagi serta “Memajukan Kesejahteraan Bangsa”. Tidak perlu mengikuti arus yang menjadikan umat manusia terpolarisasi.

Sumber :

  1. Al Qura’an dan Terjemahan, Penerbit Keira Publishing
  2. BBC Indonesia.com, Berita 27 November 2025
  3. National Geographic, Edisi Oktober 2025
  4. Buku Ajar Geografi SMA Kelas XI, Penerbit Erlangga 2019

 

 

Facebook Comments